Jumat, 25 Desember 2015

Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat

Penyambung Lidah Rakyat Bung Karno
CARA yang paling mudah untuk melukiskan tentang diri Sukarno ialah dengan menamakannya seorang yang maha‐pencinta. Ia mencintai negerinya, ia mencintai rakyatnya, ia mencintai wanita, ia mencintai seni dan melebihi daripada segala‐galanya ia cinta kepada dirinya sendiri.

Sukarno adalah seorang manusia perasaan. Seorang pengagum. Ia menarik napas panjang apabila menyaksikan pemandangan yang indah. Jiwanya bergetar memandangi matahari terbenam di Indonesia. Ia menangis dikala menyanyikan lagu spirituil orang negro.

Orang mengatakan bahwa Presiden Republik Indonesia terlalu banyak memiliki darah seorang seniman. "Akan tetapi aku bersyukur kepada Yang Maha Pencipta, karena aku dilahirkan dengan perasaan halus dan darah seni. Kalau tidak demikian, bagaimana aku bisa menjadi Pemimpin Besar Revolusi, sebagaimana 105 juta rakyat menyebutku? Kalau tidak demikian, bagaimana aku bisa memimpin bangsaku untuk merebut kembali kemerdekaan dan hak‐asasinya, setelah tiga setengah abad dibawah penjajahan Belanda? Kalau tidak demikian bagaimana aku bisa mengobarkan suatu revolusi di tahun 1945 dan menciptakan suatu Negara Indonesia yang bersatu, yang terdiri dari pulau Jawa, Bali, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku dan bagian lain dari Hindia Belanda?

Aku tahu, bahwa orang ingin mengetabui, apakah Sukarno seorang kolaborator Jepang semasa Perang Dunia Kedua. Kukira hanya Sukarno yang dapat menerangkan periode kehidupannya itu dan karena itu ia bersedia menerangkannya. Bertahun-tahun lamanya orang bertanya‐tanya, apakah Sukarno seorang Diktator, apakah dia seorang Komunis; mengapa dia tidak membenarkan kemerdekaan pers; berapa banyak isterinya; mengapa dia membangun departemen store‐departemen store yang baru, sedangkan rakyatnya dalam keadaan compang‐amping......... Hanya Sukarno sendiri yang dapat menjawabnya. Ini adalah pekerjaan yang sukar bagiku.

Suatu otobiografi adalah ibarat pembedahan mental bagiku. Sungguh berat. Menyobek plester pembalut luka-luka dari ingatan seseorang dan membuka luka‐luka itu, memang sakit, sekalipun banyak diantaranya yang sudah mulai sembuh. Terkadang aku membuat kesalahan dalam tata bahasa dan seringkali aku terhenti karena merasa agak kaku. Akan tetapi, mungkin juga aku wajib menceritakan kisah ini kepada tanah airku, kepada bangsaku, kepada anak‐anakku dan kepada diriku sendiri. Karenanya kuminta kepadamu, pembaca, untuk mengingat bahwa, lebih daripada bahasa kata‐kata yang tertulis adalah bahasa yang keluar dari lubuk hati. Buku ini tidak ditulis untuk mendapatkan simpati atau meminta supaya setiap orang suka kepadaku. Harapanku hanyalah, agar dapat menambah pengertian yang lebih baik tentang Sukarno dan dengan itu menambah pengertian yang lebih baik terhadap Indonesia yang tercinta.

Download Buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat : Google Drive

Tidak ada komentar:

Posting Komentar